Telepon genggam Ade Hidayat siang itu berdering cukup sering. Kali ini, di ujung telepon, terdengar suara pria menanyakan benih patin. Tapi, “Benih patin sedang kosong karena baru dikirim ke luar Jawa,” jawab Ade sejurus kemudian.
Beberapa waktu terakhir ini, Ade yang pembenih ikan patin dari Cisaat, Sukabumi, Jawa Barat, mengaku cukup kewalahan memenuhi permintaan benih patin. Di Sukabumi saja misalnya, permintaan baru bisa dipenuhi sekitar 50 %. Itu pun terkadang harus membeli dari daerah lain seperti dari Parung – Bogor dan Subang. “Kita selalu berupaya mencari benih, yang penting permintaan terpenuhi dengan standar benih yang kita mau,” jelas Ade kepada TROBOS beberapa waktu lalu di lokasi pembenihan miliknya.
Belum lagi permintaan benih patin dari luar Jawa yang baru bisa terpenuhi sekitar 30 %. Dirinya pun mengaku baru bisa memenuhi permintaan tersebut sekitar 100 ribu ekor per bulan. Menurut Ade, usaha pembenihan patin ini sangat potensial karena tidak ada istilah kelebihan produksi benih, yang ada malah kekurangan terus.
Belum lagi permintaan benih patin dari luar Jawa yang baru bisa terpenuhi sekitar 30 %. Dirinya pun mengaku baru bisa memenuhi permintaan tersebut sekitar 100 ribu ekor per bulan. Menurut Ade, usaha pembenihan patin ini sangat potensial karena tidak ada istilah kelebihan produksi benih, yang ada malah kekurangan terus.
Tapi, bisnis itu selama ini terkendala dengan cara pembenihan patin yang cukup rumit. “Membenihkan patin itu harus betul-betul ahli dan kerja ekstra dalam mengurusnya. Setiap jam harus dipantau karena jika ada perubahan suhu sedikit saja dan tidak sesuai antara 28 – 30 0C akan berpengaruh dan induk patin kondisinya akan menurun,” terang pria yang mengaku usahanya beromset sekitar 10 juta per bulan ini.
Kondisi sebaliknya terjadi pada pembesaran patin. Ketika pembesaran patin digenjot meningkat sekitar 64 % pada pertengahan 2010 lalu, ternyata pasar di tanah air keteteran. “Patin di pasar Sumatera, Kalimantan, dan Jawa sudah mulai tapi tidak sepesat lele sehingga patin tidak terserap. Padahal pembudidaya telah memelihara sekitar 6 bulan. Ditambah lagi margin keuntungan budidaya patin ini tipis dan karena tingginya biaya pakan yang mencapai 70 % dari biaya produksi,“ terang Direktur Produksi – Direktorat Jenderal (Ditjen) Perikanan Budidaya – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Iskandar Ismanadji secara terpisah.
Di sisi lain, patin justru laris manis di pasar luar negeri. Simak saja data dari Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP) KKP, peluang pasar ekspor patin menganga lebar. Uni Eropa membutuhkan sekitar 230 ribu ton, Rusia 125 ribu ton, Ukraina 75 ribu ton, Mesir 26 ribu ton, dan Amerika Serikat 25 ribu ton per tahunnya!
Informasi Tak Sampai
Menanggapi hal ini, Wakil Ketua Komisi Catfish Indonesia, Soen’an H Poernomo mengatakan, persoalan patin adalah informasi pasar yang tidak sampai atau tidak diterima dengan baik oleh pembudidaya dan pembeli. Akibatnya pasar tidak diketahui dan pembeli pun tidak tahu pembudidaya. “Informasi pasar ini yang perlu didorong dan diintensifkan baik untuk pembudidaya dan pemasar,” tandas Soen’an.
Menurut Soen’an, aspek pasar patin adalah hal yang harus didahulukan. Jangan sampai produksi meningkat tapi pasar tidak jelas. “Kita realistis saja. Produksi kita genjot nyatanya pasar tidak menyerap kan tidak baik. Saya lebih cenderung intensifikasi komunikasi antara pemasar, pembudidaya dan pengolah harus ditingkatkan. Kalau pasar sudah ada, produksi yang dihasilkan akan lebih aman,” jelasnya.
Pasar ini pun, lanjut Soen’an, jangan hanya menyasar pasar dalam negeri. Sebab jika mengandalkan pasar dalam negeri, masih ada batasan selera. Karena itu perlu usaha pengolahan untuk tujuan ekspor. Seperti di Jawa yang sudah ada usaha fillet (daging tanpa tulang) patin yang diekspor dan ini perlu dikembangkan di luar Jawa.
Senada, Iskandar juga menekankan pentingnya menyiapkan pasar patin. “Untuk mengatasi persoalan patin ini, pasar harus disiapkan dengan target-target produksi kita. Juga harus ada diversifikasi produk agar bisa diekspor ke luar negeri seperti yang dilakukan di Riau dengan dibuat salai (ikan asap) yang dikirim ke Malaysia dan harus industri pengolahan yang bergerak,” katanya.
Berkembang di Luar Jawa
Lepas dari persoalan pasar, usaha pembesaran patin justru telah berkembang terutama di luar Jawa. Ini antara lain bisa dilihat dari pengakuan Ade yang tak mampu memenuhi permintaan benih patin dari luar Jawa terutama Sumatera dan Kalimantan yang tiap bulan terus mengalir.
Sementara itu menurut Sales Manager PT Suri Tani Pemuka Unit Lampung, Sutrisman, berkembangnya pembesaran di luar Jawa diyakini karena tingkat kesukaan (preferensi) dan kultur masyarakat akan olahan kuliner yang memanfaatkan patin sebagai bahan bakunya masih banyak di luar Jawa.
Berkembang di Luar Jawa
Lepas dari persoalan pasar, usaha pembesaran patin justru telah berkembang terutama di luar Jawa. Ini antara lain bisa dilihat dari pengakuan Ade yang tak mampu memenuhi permintaan benih patin dari luar Jawa terutama Sumatera dan Kalimantan yang tiap bulan terus mengalir.
Sementara itu menurut Sales Manager PT Suri Tani Pemuka Unit Lampung, Sutrisman, berkembangnya pembesaran di luar Jawa diyakini karena tingkat kesukaan (preferensi) dan kultur masyarakat akan olahan kuliner yang memanfaatkan patin sebagai bahan bakunya masih banyak di luar Jawa.
“Di Kalimantan, patin disajikan dalam bentuk patin panggang. Di Sumatera Selatan, patin banyak dijadikan pindang dan tempoyak patin, pempek yang menjadi ikon kuliner Sumatera Selatan dengan sentra produksi patin di wilayah Banyuasin yang mencapai 15 ton per hari dan dijual di pasar tradisional dan rumah makan,” jelasnya.
Selengkapnya baca majalah Trobos edisi Juni 2011
0 komentar:
Posting Komentar